Malam hampir pagi, teringat
pikiranku pada sebait lirik ciptaan mas Virgiawan Listianto. Pada penghujung
waktu itu, dimana rembulan masih membulat ranum, berwarna putih dengan pendar yang
membatasi antaranya dan langit hitam. Tentu tak luput juga ada bintang bintang
pada pesona itu. Nikmat aku memandanginya, dan timbul rasa ingin memilikinya
sendiri, sebagaimana senja yang telah tercabik paksa oleh mas seno, karena
keegoisannya. Keegoisan yang dikabarkan pada sebaris kata satir berwujud romantis
untuk kekasihnya.
Alina..
Begitu beruntung dirimu Alina,
wanita yang tak perlu menerima cemohan dunia. Ketika semua cemoh itu
terlampiaskan pada seonggok tubuh seno gumira karena menuruti keliaran alam
pikirnya. Lelaki konyol yang merampok senja beserta sederet langit kemerahan
disekitarnya. Ah, pernahkah ia terpikir
bahwa senja itu, merupakan senja yang sama dikota ini. Senja yang tak lagi
memiliki garis cakrawala akibat dari sisa sisa keangkuhan ruda paksanya..!
Senja..
Tak indah tentu, hanya tersisa
sendu. Tapi walau tak seindah yang kau lihat ketika wajahmu terpaut dalam
kisahku, disaat debur ombak yang menderu dayu, dan pasir putih yang menghambur
pada jemari kaki sayu. Itupun tlah cukup rasanya, tuk kita nikmati disini walau
tak panjang lagi waktu.
Hanya menyisa isu.
Ah , rindu aku..!
Masa ini tak lagi ada kisah kisah
itu. Gedung gedung berjajar tinggi. Mencakar langit, langit yang tak lagi biru.
Hanya menyisa jingga, setelah merah menyala yang membakar. Panas meluap,
mencecar kata kata kasar lalu menyesal.
Hanya menyisa candu.
Agama, ah apa itu..?
Hanya asa untuk menjadi setara,
tak berarti apa apa diruang nyata. Mengintip detik untuk bermetamorfosa. Kuduga
kau masih sempurna, karena menduga tak perlu menengadah. Satu kepatutan pada
lingkup lapisan bawah. Lapisan yang terhimpit oleh jajaran gedung gedung itu.
Gedung gedung yang ada kau mengisi salah satu ruangnya.
Hanya menyisa malu.
Dolank
24 Agustus 2022