Thursday, June 25, 2009

Romantisasi Imajinasi

(Untuk gadis sebatik)
Merinding aku merasakan hembusan kata cintamu di telingaku, layaknya hantu yang menggelitik tengkukku. Mengawali romantisme kita disudut timur kota, kupandangi kau lekat, hangat dan juga tentu tanpa penat.
Sekali lagi aku ingin menyentuhkan hidungku dihidungmu, melintasi kabut malam, dan kita terbang di awang-awang. Dihadapan mahakam dan mata yang terpejam kuingin kecup kau berkali-kali lagi hingga pagi menjemput kita. Pagi yang selalu memberikan rutinitas yang melelahkan gejolak cinta kita. Rutinitas yang tidak jarang membuat kita malas, meski untuk saling bertegur sapa saja apalagi untuk kembali bercinta.
Ada rintik hujan terkadang ikut bermain diantara bibir kita yang saling berpagut, manis terasa dalam ikatan lidahmu yang kurenggut. Lembut gerakmu melepaskan kancingku, layaknya melemahkan imanku yang memang sudah lama larut satu demi satu.
Cahaya temaram, itu yang kita perlu. Bukan karena malu tapi terkadang ku ragu. Ragu akan keadaan kita yang ditelanjangi jaman tapi masih mencoba untuk terus berlari mengingkari massa yang menontoni ketertinggalan kita. Memaksa kita untuk dihadirkan sebagai contoh manusia yang tak beradab.
Kebiadaban seolah hadir dari diri kita yang beradu mesra dalam tingkah pola percintaan yang lugas tanpa batas. Kebiadaban menjadi sosok yang subjektif, tanpa pernah mengambil banding dari berjuta pasang mata yang menikmatinya. Bukan hal aneh di negeri kita yang demokratis, karena yang benar, selalu berarti yang lebih jamak.
Begitulah kebenaran, tidak selalu hadir walaupun telah berada dalam situasi ketertelanjangan. Seperti diri kita malam ini. Diri kita yang mencoba melahirkan kejujuran manusiawi. Dan aku menjadi lebih tidak perduli lagi tentang semua itu, karena aku cinta kamu sayangku…!
Dolank
21 juni 2009

Tuesday, June 2, 2009

Cakrawala

Aku ingin sekali lagi berjalan kearah cakrawala. Menuju mimpi tempat para arwah tertawa. Sekali lagi tanpa pandangan kebelakang, hanya fokus di depan, di arah cakrawala. Menetapkan hati, tanpa gamang dan ragu hanya mengingat tentang cakrawala, tempat para arwah tertawa.

Dahulu pernah aku berjalan menujunya, sayangnya ekonomi menghempaskanku bagai pemain bola yang berlari melawan gaya pegas. Kembali lebih jauh dari tempat aku memulai perjalanan kearah cakrawala.

Siapa bilang cakrawala mudah digapai kata suara dari langit, lalu tawa membahana dari surya dan para punggawanya menenggelamkanku ke dasar bumi. Aku ingat bahwa kala itu, kala kuberjalan kearah cakrawala mentaripun menyulitkanku dengan sinarnya yang menerpa wajahku, wajahku yang kuhadapkan kearah cakrawala.

Sementara bumi tempatku berpijak, masih terus berdiam. Aku jadi gamang, kali ini siapakah yang tertawa, aku yang menertawai ketetaptidakberdayaan bumi, atau mentari yang masih menertawaiku. Sementara cakrawala masih saja terhampar jauh didepan sana, tanpa ada mentari di garisnya hanya sayup-sayup terdengar para arwah yang tertawa.

Dolank
15 April 2009