Wednesday, August 24, 2022

Menyisa Sisa Sisa

 

Malam hampir pagi, teringat pikiranku pada sebait lirik ciptaan mas Virgiawan Listianto. Pada penghujung waktu itu, dimana rembulan masih membulat ranum, berwarna putih dengan pendar yang membatasi antaranya dan langit hitam. Tentu tak luput juga ada bintang bintang pada pesona itu. Nikmat aku memandanginya, dan timbul rasa ingin memilikinya sendiri, sebagaimana senja yang telah tercabik paksa oleh mas seno, karena keegoisannya. Keegoisan yang dikabarkan pada sebaris kata satir berwujud romantis untuk kekasihnya.

Alina..

Begitu beruntung dirimu Alina, wanita yang tak perlu menerima cemohan dunia. Ketika semua cemoh itu terlampiaskan pada seonggok tubuh seno gumira karena menuruti keliaran alam pikirnya. Lelaki konyol yang merampok senja beserta sederet langit kemerahan disekitarnya.  Ah, pernahkah ia terpikir bahwa senja itu, merupakan senja yang sama dikota ini. Senja yang tak lagi memiliki garis cakrawala akibat dari sisa sisa keangkuhan ruda paksanya..!

Senja..

Tak indah tentu, hanya tersisa sendu. Tapi walau tak seindah yang kau lihat ketika wajahmu terpaut dalam kisahku, disaat debur ombak yang menderu dayu, dan pasir putih yang menghambur pada jemari kaki sayu. Itupun tlah cukup rasanya, tuk kita nikmati disini walau tak panjang lagi waktu.

Hanya menyisa isu.

Ah , rindu aku..!

Masa ini tak lagi ada kisah kisah itu. Gedung gedung berjajar tinggi. Mencakar langit, langit yang tak lagi biru. Hanya menyisa jingga, setelah merah menyala yang membakar. Panas meluap, mencecar kata kata kasar lalu menyesal.

Hanya menyisa candu.

Agama, ah apa itu..?

Hanya asa untuk menjadi setara, tak berarti apa apa diruang nyata. Mengintip detik untuk bermetamorfosa. Kuduga kau masih sempurna, karena menduga tak perlu menengadah. Satu kepatutan pada lingkup lapisan bawah. Lapisan yang terhimpit oleh jajaran gedung gedung itu. Gedung gedung yang ada kau mengisi salah satu ruangnya.

Hanya menyisa malu.

 

Dolank

24 Agustus 2022