Monday, September 28, 2009

Sang Insinyur

Pagi ini sepi, tidak ada lagi suara bututmu menyeloteh mesra. Beradu canda dengan Tuhan.

Dahulu kudengar kau pernah menantang Tuhan, ketika itu umurmu sudah kepala tujuh. Mungkin pikirmu segala asam dan garam telah kau kecap sementara Tuhan hanya mengaku tahu tanpa pernah ada untuk menjadi nyata.

Begitu sibuk kau jalani derapmu yang berlomba dengan waktu. Roda derita dan airmata ada yang datang dan terkadang kau tendang. Ada juga harta ada juga cinta yang kau rengkuh dalam rendaman peluh. Tak juga luput kau beri waktu luang yang mesra untuk beranak pinak di atas ranjang eropa berwarna perak.

Seringkali waktu itu ku merasa terganggu. Kicaumu selalu jauh lebih dulu dari subuh yang teduh, dan berakhir ketika damai dihatimu menenangkan segala aibmu. Pernah juga suatu kali kulihat kau menangis hingga ashar memanggilmu, katamu Tuhan lupa bercakap denganmu, hingga terlelap kau dilanda penat.

Kini kau tak lagi disini, tak lagi menangis sepanjang hari, padahal kau terlelap sangat sama ketika waktu itu, juga dengan penat. Penat selepas maghrib menjelang isya. Penat yang mempertemukanmu dengan sang malaikat.

Kali ini subuh masih tetap teduh, seteduh tubuhmu yg dilanda rapuh.

Dolank
16 April 2009

Thursday, June 25, 2009

Romantisasi Imajinasi

(Untuk gadis sebatik)
Merinding aku merasakan hembusan kata cintamu di telingaku, layaknya hantu yang menggelitik tengkukku. Mengawali romantisme kita disudut timur kota, kupandangi kau lekat, hangat dan juga tentu tanpa penat.
Sekali lagi aku ingin menyentuhkan hidungku dihidungmu, melintasi kabut malam, dan kita terbang di awang-awang. Dihadapan mahakam dan mata yang terpejam kuingin kecup kau berkali-kali lagi hingga pagi menjemput kita. Pagi yang selalu memberikan rutinitas yang melelahkan gejolak cinta kita. Rutinitas yang tidak jarang membuat kita malas, meski untuk saling bertegur sapa saja apalagi untuk kembali bercinta.
Ada rintik hujan terkadang ikut bermain diantara bibir kita yang saling berpagut, manis terasa dalam ikatan lidahmu yang kurenggut. Lembut gerakmu melepaskan kancingku, layaknya melemahkan imanku yang memang sudah lama larut satu demi satu.
Cahaya temaram, itu yang kita perlu. Bukan karena malu tapi terkadang ku ragu. Ragu akan keadaan kita yang ditelanjangi jaman tapi masih mencoba untuk terus berlari mengingkari massa yang menontoni ketertinggalan kita. Memaksa kita untuk dihadirkan sebagai contoh manusia yang tak beradab.
Kebiadaban seolah hadir dari diri kita yang beradu mesra dalam tingkah pola percintaan yang lugas tanpa batas. Kebiadaban menjadi sosok yang subjektif, tanpa pernah mengambil banding dari berjuta pasang mata yang menikmatinya. Bukan hal aneh di negeri kita yang demokratis, karena yang benar, selalu berarti yang lebih jamak.
Begitulah kebenaran, tidak selalu hadir walaupun telah berada dalam situasi ketertelanjangan. Seperti diri kita malam ini. Diri kita yang mencoba melahirkan kejujuran manusiawi. Dan aku menjadi lebih tidak perduli lagi tentang semua itu, karena aku cinta kamu sayangku…!
Dolank
21 juni 2009

Tuesday, June 2, 2009

Cakrawala

Aku ingin sekali lagi berjalan kearah cakrawala. Menuju mimpi tempat para arwah tertawa. Sekali lagi tanpa pandangan kebelakang, hanya fokus di depan, di arah cakrawala. Menetapkan hati, tanpa gamang dan ragu hanya mengingat tentang cakrawala, tempat para arwah tertawa.

Dahulu pernah aku berjalan menujunya, sayangnya ekonomi menghempaskanku bagai pemain bola yang berlari melawan gaya pegas. Kembali lebih jauh dari tempat aku memulai perjalanan kearah cakrawala.

Siapa bilang cakrawala mudah digapai kata suara dari langit, lalu tawa membahana dari surya dan para punggawanya menenggelamkanku ke dasar bumi. Aku ingat bahwa kala itu, kala kuberjalan kearah cakrawala mentaripun menyulitkanku dengan sinarnya yang menerpa wajahku, wajahku yang kuhadapkan kearah cakrawala.

Sementara bumi tempatku berpijak, masih terus berdiam. Aku jadi gamang, kali ini siapakah yang tertawa, aku yang menertawai ketetaptidakberdayaan bumi, atau mentari yang masih menertawaiku. Sementara cakrawala masih saja terhampar jauh didepan sana, tanpa ada mentari di garisnya hanya sayup-sayup terdengar para arwah yang tertawa.

Dolank
15 April 2009


Wednesday, May 20, 2009

Surat Untuk Titan

Kepada
Makhluk Titan
d.a. Planet Saturnus
Apa kabar makhluk Titan, lama kita tak berjumpa. Sejak beberapa bulan yang lalu dengan sebuah perpisahan yang tak meninggalkan kesan. Sebuah pelarian dari rasa malu yang mungkin datang menghantam ketika kuketahui matamu tak menusuk kalbuku lagi. Sindiran yang pasti kubaca dengan telak dari berita yang tersebar di koran bulan Januari.
Kini kau datang lagi dengan Apollo generasi ke lima puluh milik kami yang dahulu kami kirim ke orbitmu. Memberi kesan manis yang menggelitik kembali jantungku. Lalu tak berapa lama kita terbang bersama ke bulan, juga dengan Apollo generasi ke lima puluh itu. Sesekali mengekori komet berpijar yang jatuh dibumi dan kita tertawa mesra ketika telah sampai di garis khatulistiwa.
Tak kutahu ternyata semua itu hanyalah hal bodoh belaka, ada garis tegas yang tak kau berikan atau mungkin kau beri namun disamarkan. Hei makhluk Titan, bukan ku ingin berlari lagi. Tapi mengambil milik makhluk lain bukanlah prinsip kami, orang-orang dari makhluk bumi. Mestinya tak kau tutupi statusmu itu ketika berkunjung ke bumi, karena rasa malu yang kami jalani jauh lebih mengerikan daripada hanya berbuat bodoh berkali-kali.
Hei makhluk Titan, kalau diperlakukan seperti ini kami sudah biasa, dan satu lagi jangan ada kau beri kami malu untuk kedua kali walau kami masih menyimpan rasa untukmu kawan.
Salam
Makhluk bumi
(Inspired by Laser gun electro girl)
Dolank
20 Mei 2009

Tuesday, May 19, 2009

Bias

Sayang sebuah kata dari bahasa Indonesia yang terdiri dari 6 huruf. 2 vokal yang sama memberikan irama pada penyebutannya, sebagai substrat yang mengikat 4 huruf lainnya yang lebih menggambarkan kekakuan. Menampakkan kesederhanaan pola, sebuah keindahan dalam intonasi yang monoton.

Sayang sebuah kata yang tak lagi sarat makna. Bias merupakan pencerminan yang merefleksikan gambaran hurufnya dilain sisi, dengan pelencengan yang tak jauh tapi berarti lain. Bukan tidak mungkin hanya berarti kawan atau teman. Bahkan juga bisa sebagai bahan olok-olokan saja!

19 Mei 2009
Dolank

Wednesday, May 13, 2009

Akhir


Aku menjadi sangat realistik, sedetik tak akan pernah cukup buatku bersamamu dalam kenyataan, dan lelapku tanpamu benar-benar penyesalan.
Aku rindu kamu, tapi malam sudah hampir pagi.
Selamat tidur manis.
Selamat tidur manisku.
6 jan 08, 3.00-3.05 pm
Dolank

Tuesday, May 5, 2009

Jendela

Begitu anehnya kamu, berdiri sendiri dibalik aksara-aksara penuh makna. Hitamnya tinta dan putihnya kertas kau beri warna dengan tingkah pola rajutan akalmu dalam berkarya. Ada raga yang terbang, ada yang juga terlunta, ada asmara pergolakan massa juga cerita cinta tua dan muda. Begitu hidup merangkumkan jiwa kami yang terpana.

Gairahmu hujan hari ini, yang menenggelamkan kami dalam dunia kritis terkadang romantis.


Tapi sampai kini rupa-rupanya sosokmu masih ada di awang-awang kami, orang-orang desa dalam lingkup negeri tanpa tapal batas. Tanpa ilmu yang dapat menghampiri bakat alammu. Hanya melalui jendela ini kami bisa memandangmu, mengukur tinggi dan beratmu dari benda disekitarmu. Dari jendela negeri tanpa tapal batas.


Untuk kawanku
Dolank
4 Mei 2009

Wednesday, April 15, 2009

Bumi

Bumi

Kata orang bumi identik dengan biru, dan biru identik dengan damai. Sementara itu damai yang kami pijak hari ini adalah bumi yang tak lagi berwarna biru.

Ada juga yang berpikir bahwa biru itu adalah langit, dan langit identik dengan tinggi. Sementara itu langit yang kami kenal hari ini hanyalah petinggi-petinggi yang tak lagi berpijak di bumi.

Sebagian kecil bahkan sempat berpikir bahwa laut adalah gambaran bumi. Berwarna biru dan menjunjung langit yang tinggi.

Sementara kami..

Telah membiru dan terbujur kaku diatas bumi yang biru dan langit yang tinggi.

04sept08
Dolank

Saturday, April 4, 2009

Urbanisasi


Mereka menggeliat lagi, berduyun duyun membarakan langit kota. Ada kebebasan diramainya metropolis yang menghinggapi otakmu dan semakin membesarkan niatmu dalam tiap derap langkah yang bersemangat. Aku dengar peluh kalian, ada asa dalam setiap tetesnya. Walau kemerdekaan terkadang kulihat telah memberikan garis demarkasinya untukmu.
Hai orang orang urban pekikku menyadarkan mereka diatas batu tapal batas desa, tapi tak ada yang bergeming. Tidak ada lagi mimpi disana, tidak ada lagi nasib ataupun takdir yang kau pikir bisa berubah dengan hanya merubah garis tanganmu dengan sedikit kasar ataupun kapalan karena giatmu.
Peluhmu tak lagi punya nyawa hai orang- orang urban. Peluhmu tak lagi bisa berbuat banyak di tanah ini. Peluhmu tak lagi bisa bicara. Jangan merengekkan arogansimu dihadapan kota, karena kota lebih berpengalaman untuk meneriakkan arogansinya untukmu.
Dolank
24 maret 2009

Sunday, March 22, 2009

Menggigil

Derapku masih melaju, walau terkadang gontai dan sesekali terjatuh. Tapi tubuh tempatku melelahkan diri masih mengaum, masih ingin terluka, luka terbuka. Sebab darahku masih biru, aku ingin oksigen bercampur dengannya, bukan cuma racun dari tembakau bakar yang berencana menturbulensi alirannya.
Warna tubuhku masih hitam, membiaskan segala senyuman, merendahkan warna kesucian. Masih gahar menentang tatapan para pekerja kasar dan kuli bangunan. Bersama remang kutikamkan amarahku.
Marahku semakin melintasi malam. Rangkul aku kawan, tapi jangan dengan cinta!

Dolank
22 Februari 09

Tuesday, February 17, 2009

Merusak Diri

Menjadi orang dari 4-5 tahun yang lalu, benar diluar dugaan saya sewaktu 4-5 tahun lalu ketika ini. Masih berkutat dengan dunia yang orang bijak juga banyak melaluinya. Masih tenggelam dalam dunia yang dipenuhi keroco-keroco sombong yang tanpa batas, yang menyalak ketika ramai kalau tidak sedang berada dalam kandang kecil yg cukup memuaskannya.
Orang-orang dari 4-5 tahun yg lalu pun masih sama dengan orang-orang yg mengelilingi dengan setianya hingga kini. Masih punya taring, masih punya wibawa, dan akal yang jauh lebih tajam daripada ketika dahulu, 4-5 tahun yang lalu. Lalu mengapa kami tak menguasai dunia lagi.
Saya benar-benar terbawa arus perasaan, yang semestinya dihentikan sejak lama. Dibuainya hingga mabuk yang memuntahkan, benar-benar dimabukkan hanya oleh beberapa botol bir, ataupun secuil tembakau bakar. Terkadang hingga membakar kepalan tangan ketika melihat jumawa para remaja tanggung yg ingin membuktikan diri, sama seperti saya 4-5 tahun yg lalu.
Dolank
17 feb 2009