Thursday, December 18, 2008

Wajah Bulan Juni

Wajah tanahku di bulan Juni begitu memalukan dan diskriminasi. Pancasila yang coreng moreng menampakkan kecompang-campingannya untuk yang kesekian kalinya. Ketika demokrasi dimerdekakan akan tetapi harus pula mempertanyakan haknya. Ketegasan yang semestinya mutlak, hanya dapat menyediakan kerancuan.
Sementara itu di masyarakat sebuah kesalahpahaman sosial merebak hingga melunturkan atau mungkin lebih tepatnya merendahkan semangat keislaman sekelompok orang. Sesama muslim yang semestinya bersaudara begitu mudahnya merendahkan saudaranya. Ketika budaya islam diperjuangkan oleh kaum minoritas tapi dianggap sebagai pelecehan. Beginikah wajah muslim Indonesia..?
Ketika sebuah kata, yang namanya laskar menjadi sebuah kata yang menjual, bermunculanlah berbagai macam laskar, hal yang sudah biasa di negeri ini. Tapi menjadi memalukan ketika keberanian untuk mati hanya menjadi sebuah ikon yang merebak bagaikan jamur dimusim hujan dari para pemimpin pondok ketika mereka hanya bertujuan untuk menuntut adanya pembubaran dari sekelompok orang yang mencoba berjalan dinegeri yang kecil ini. Namun ketika dihadapkan dengan tanah palestina, golok-golok mereka menjadi pisau dapur, otot-otot hamburger menjadi otot tempe, dan hati yang bagaikan naga menjadi cacing yang meringkuk.
Kita yang semestinya sama-sama berjuang membela yang telah pasti hak-nya, malah tercebur dengan konflik baru demi mendapatkan popularitas sesaat. Atau mungkin konflik lama yang hanya menunggu waktu untuk siap melumat kaum urban negeri ini, yang berani berbicara ketika mulut dikunci. Sementara hati saudaranya yang dikenal mayoritas dikeruhkan biar segala menjadi rancu.
Inilah yang terjadi di negeri kami, negeri dimana surga bagi para ustad yang tak mampu menjaga mulutnya, ketika telinga telah disamarkan, sementara mata dibutakan. Dan menjadi muslim hanyalah ikon yang menjanjikan untuk memulai usaha, bukan sebagai sebuah prinsip yang harus dibela ketauhidannya dan diangkat martabatnya.

Juni 08

Dolank

Friday, December 12, 2008

Nengkono Nengdi


Seorang karib telah bertanya, “apa itu perawan punten?” Lalu dengan ringannya kujawab, “mungkin saja ia seorang perawan berbentuk punten”. Sang teman lalu bertanya lagi, “Lalu jika ia perawan, apakah ia seorang wanita pada umumnya?” Kujawab juga begini, “Bukan, melainkan ia ialah bidadari”. Sang teman lalu bertanya lagi, “berarti perawan punten berada di surga!?” “Tentu saja tidak, karena surga hanya untuk orang tua dan penguasa, sementara saya bukan siapa-siapa yang mampu mengenal surga”, jawabku agak panjang.Sang karib itupun bertanya lagi untuk kesekian kalinya dengan mimik yang mulai kebingungan, “Sebenarnya perawan punten itu apa, manusia atau bidadari?” Akupun lalu menjelaskan, “Begini saja, jika kamu melihat matahari telah berada di ufuk timur, maka itulah perawan punten, jika kamu melihat pelangi di langit barat maka itulah perawan punten, jika kamu melihat melati digurun gersang maka itulah perawan punten, dan jika kamu melihat bidadari di kedua matamu maka itulah perawan puntenmu, sementara itu jika kamu melihat perawan puntenku maka titipkanlah salamku untuknya kawan”.
May 2006
Dolank