Film ini bertema tentang cinta,
islam, wanita yang kuat atau bisa juga dibilang mandiri. Proses syuting
dilakukan langsung dari cina sebagai bukti bahwa kata Beijing pada judul bukan
sekedar embel-embel belaka.
Banyak gedung-gedung terkenal
ataupun gambaran sedikit daripada kehidupan yang ada di cina ditampakkan dalam
film ini. Namun sayangnya gambar gambar tersebut diambil tidak secara profesional,
bahkan cenderung terlihat seperti pengambilan gambar yang dilakukan oleh
wisatawan yang sedang berlibur ke ke negara asing saja. Bisa jadi kameramennya
kurang memiliki skill dalam bidangnya, bisa juga dilakukan hanya dengan
menggunakan kamera handycam biasa.
Terlalu banyak gambar yang
bergoyang seperti menggunakan kamera yang tanpa disertai dengan kemampuan
stabilisasi gambar. Padahal seandainyapun diambil dengan kamera biasa
semestinya diakali dengan penggunaan tripod. Proses pengambilan gambarpun
cenderung terburu buru seperti mahasiswa yang membuat film pendek tanpa mengantungi
izin dari pemilik area.
Aktor utama sangat kaku, bisa
dimaklumi karena sepengetahuan saya yang sedikit inipun, saya baru pertama kali
ini melihat ia bermain film. Untuk karakter utama wanitanya biasa saja, tidak
ada yang istimewa. Karakter yang paling menawan hanya pada aktris pendukungnya
saja, lucu, ceplas ceplos, semangat dan setia.
Hal paling menjengkelkan pada
film Indonesia belakangan ini juga ada di film ini, yaitu pesan sponsor. Jadi
diceritakan bahwa ketika aktris utamanya telah sampai di cina lalu dia
mengeluarkan sebuah oleh-oleh dari Indonesia untuk teman dekatnya disana, yaitu
2 biji teh botol. Ini hal yang benar-benar aneh, kenapa tidak dipikirkan secara
matang untuk memasukkan pesan sponsor dengan kemasan yang lebih menyatu pada
film kalau tidak dapat membuat yang tampak realistis.
Salah satu prinsip yang ingin
diperkenalakan pun tidak menjadi satu kesatuan dari awal hingga akhir film. Dibagian
awal pengenalan prinsip tentang tokoh wanita muslim yang mengajarkan bahwa
seorang muslimah tak boleh bersentuhan dengan laki-laki yang bukan muhrimnya
lalu lebih ditekankan lagi pada pertngahan film, tapi dibagian akhir malah
menjadi sesuatu yang tak pantas disebut prinsip lagi karena tokoh wanitanya
malah menghambur-hamburkan sentuhannya pada wajah laki-laki yang dirindukannya.
Untuk masuk dalam kategori film romantis
rasanya tidak juga. Drama bisa jadi iya tapi tak perlu berharap untuk merasakan
nikmatnya menonton hingga menangis Bombay. Cukup dinikmati saja daripada tidak
ada film yang ditonton.
Dolank
8 Mei 2015
No comments:
Post a Comment